DALAM peluncuran buku Amatullah Basiimah, Berdamai dengan Sunyi, anggota DPRD Provinsi Jawa Barat H. Heri Koswara, M.A. menegaskan bahwa sekolah inklusi seharusnya bukan hanya untuk sekadar pencitraan.
Sebagai anggota dewan yang memiliki anak berkebutuhan khusus, Heri menilai, kebijakan sekolah inklusi yang digulirkan pemerintah belum cukup memadai bagi anak disabilitas.
“Sekolah inklusi maupun sekolah khusus yang didirikan, pada akhirnya hanya untuk pencitraan dan tidak terurus,” ungkap Heri di Aula Muzdalifah, Islamic Center, Bekasi, Kamis (22/06/2023).
Kebijakan sekolah inklusi, menurut Heri, di mana sekolah negeri menerima anak disabilitas ternyata pada praktiknya tidak sesuai yang diharapkan.
“Banyak siswa berkebutuhan khusus yang di-bully, atau guru yang tidak fokus karena terlalu banyak murid, dan lain-lain,” jelas Heri.
Kemudian, Bekasi menjadi percontohan dengan didirikannya sekolah khusus disabilitas, namun lagi-lagi, kata Heri, sekolah tersebut akhirnya ditinggalkan karena dianggap tak lagi penting.
Menyadari kekurangan tersebut, selain memperjuangkan akses pendidikan bagi disabilitas, Heri juga mewadahi para anak Tuli dengan mendirikan Rumah Belajar Ibtisamah.
“Saya dengan istri mendirikan sekolah berkebutuhan khusus, insyaAllah para orangtua yang mempunyai anak Tuli bisa bersekolah di sana gratis. Mohon doanya,” tambah Heri yang merupakan calon Walikota Bekasi itu.
Baca Juga: Raih Penghargaan Tokoh Pendidikan, Heri Koswara Ingin Bekasi Jadi Kota Inklusif
Dihadiri oleh Presiden PKS H. Ahmad Syaikhu, peluncuran buku itu bertabur cerita haru di balik perjuangan para orang tua yang memiliki anak disabilitas atau berkebutuhan khusus.
Amatullah Basiimah adalah putri kedua dari pasangan Heri Koswara dan Nur Indah Harahap. Perjuangan keduanya dalam mengasuh sang putri yang istimewa itu tertuang dalam buku tersebut.
Bagi Nur Indah Harahap, satu pertanyaan dari putri kecilnya waktu itu yang membuatnya terharu adalah, “Ummi, apakah nanti di surga, aku bisa mendengar?”
“Namun, seiring dengan pemahamannya terhadap Islam, dengan penggunaan bahasa isyarat, ia mulai menemukan jati dirinya sebagai seorang Tuli,” kata Nur Indah.
Kak Basiimah pun ketika bertahun-tahun kemudian kembali mengatakan, “Ummi, nanti di surga, aku juga tetap ingin Tuli.”
Pernyataan itu, bagi Nur Indah, adalah sebuah kebanggaan putrinya dengan identitasnya sebagai Tuli.
Karena kata Basiimah, “Tuli adalah identitas yang tak boleh menghalangimu meraih cita-cita.”
Perjuangan Nur Indah dalam memberikan akses pendidikan bagi anaknya dan komunitas Tuli tidak mudah, terutama ketika berkaitan dengan birokrasi.
“Kami memberikan pemahaman tentang disabilitas ke Kementerian Pendidikan, itu sulit sekali. Ternyata Allah memberi jawaban, yaitu lewat Al-Qur’an,” jelas Nur Indah.
Basiimah dan Teman Tuli lainnya kemudian berkontribusi dalam penyusunan mushaf Al-Qur’an berbahasa isyarat yang difasilitasi oleh LPMQ (Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an) Kementerian Agama.
Bagi Heri dan Nur Indah, Basiimah adalah mutiara dalam keluarga.
“Allah telah membuktikan janjinya. Allah telah mengajarkan Tuli bukan membuat orang menjadi bodoh. Hanya karena kita belum paham hikmah di balik ini. Ternyata, buta dan Tuli bukan harus menjadi bodoh dan gagal,” tandas Heri.
Buku Amatullah Basiimah, Berdamai dengan Sunyi ditulis oleh wartawan senior Amin Idris, Imran Nasution, Chotim Wibowo, dan Zaenal Arifin.
Diterbitkan oleh Yayasan Mitra Insani, buku ini disebarluaskan secara gratis untuk masyarakat umum dan telah dicetak untuk kedua kalinya.[red]